Sejarah Desa Pitai (Pitay)
Desa
Pitai adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sulamu, Kabupaten
Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini sama seperti desa-desa pada
umumnya yang berada di daratan Pulau Timor. Curah hujan yang rendah membuat kondisi
tanah menjadi kurang subur serta persediaan air tanah sangatlah minim. Pada
tahun-tahun tertentu, masyarakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan air
bersih untuk keperluan sehari-hari.
Masyarakat
Desa Pitai dapat melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Mereka bekerja sebagai petani
sawah, petani ladang, petani garam, nelayan, buruh, peternak, pedagang, dan mereka
melakukan beberapa pekerjaan lepas lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca dan
peluang usaha yang tak menentu. Hujan yang turun hanya sesekali dalam setahun membuat warga
harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Desa
ini telah memiliki sekolah dasar dan sekolah menengah pertama satu atap.
Keberadaan sekolah sangatlah penting dalam proses pendidikan anak-anak di
tempat ini. Meskipun fasilitas sekolah masih sangat minim, tetapi proses belajar
mengajar sudah dapat berjalan dengan baik. Para siswa bisa
mendapatkan pendidikan sembilan tahun yang cukup sebagai bekal untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Desa
Pitai terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Oekule dan Dusun Pitai. Dusun Oekule
dihuni oleh warga suku Rote Ti, sedangkan Dusun Pitai dihuni oleh warga suku
Rote Lole. Kita bisa mendapati perbedaan di antara keduanya berdasarkan dialek yang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah, “Mengapa Desa Pitai yang berada di Pulau
Timor justru dihuni oleh masyarakat suku Rote dan bukan masyarakat suku Timor?”
Tentu ini adalah pertanyaan yang sangat tepat. Saya akan menceritakan kembali
sejarahnya berdasarkan hasil menggali informasi dari beberapa warga. Perlu
dicatat bahwa mungkin saja kisah ini tidak mencapai fakta yang sebenar-benarnya
sebab sudah tergerus oleh kekurangan penuturan lisan turun-temurun. Kita tahu bahwa kisah yang diceritakan dari generasi ke generasi secara lisan bisa
mengalami beberapa perubahan. Bahkan bisa berbeda antara penutur yang satu dengan yang lain. Meskipun demikian, anggaplah kisah yang saya bagikan adalah kisah yang akurat dari sumber yang terpercaya.
Dahulu
kala, saat wilayah nusantara masih belum menjadi negara Indonesia, semua daratan
Pulau Timor didiami oleh suku Timor. Mereka hidup berkelompok di pesisir pantai dengan damai dan tenang. Kegiatan yang mereka lakukan adalah bertani, berburu binatang liar, dan menangkap ikan di laut. Mereka memiliki kepala
suku yang bertugas memimpin dan menjaga mereka. Bila ada masalah antar anggota, sang kepala suku akan mencari jalan terbaik untuk menyelesaikannya.
Suatu ketika, berlayarlah beberapa nelayan
dari Pulau Rote untuk mencari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya di sepanjang
lautan Pulau Rote. Mereka berkeliling ke sana
ke mari hingga sampai di lautan Pulau Timor. Perkiraan waktu berlayar yang
tidak akurat menyebabkan mereka kehabisan air untuk minum, bahkan bahan bakar untuk
menyalakan lampu. Para nelayan menjadi sangat kebingungan. Mereka tidak tahu kemana harus berlabuh malam
itu sebab kondisi sangatlah gelap. Hal ini membuat mereka hampir putus asa.
Mereka memutuskan untuk tidur dalam kegelapan. Sambil diterjang angin kencang yang entah datang dari timur atau barat, mereka berusaha menahan rasa haus yang tak terbendung. Bergelut dengan pikirannya masing-masing. Menelusuri lorong-lorong pilihan untuk menemukan pintu solusi. Ada yang tersesat dan mempersalahkan ketidakbajikan. Ada yang lelah, lalu diam dan tak mau melangkah lagi. Namun, beberapa yang lain terus berjalan dan akhirnya menemukan.
Suatu penantian panjang akan hadirnya fajar pun dimulai. Gemuruh suara ombak yang menyentuh badan perahu membuat mereka terus terjaga dalam gamang. Samar-samar tampaklah cahaya api kecil dari kejauhan. Cahaya yang tidak begitu besar, namun terlihat oleh mata. Mereka akhirnya menyadari bahwa ada daratan di depan sana. Keputusan untuk pergi mengikuti sumber cahaya pun segera diambil.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di daratan. Mereka mendapati tempat itu telah berpenghuni. Orang-orang suku Timor adalah pemilik tanahnya. Kedatangan mereka tidak disambut dengan baik melainkan dianggap sebagai sebuah ancaman. Melalui proses yang rumit, akhirnya mereka berhasil mendapatkan air minum untuk persediaan sepanjang perjalanan pulang. Mereka juga harus melakukan beberapa perintah dari kepala suku. Hal inilah yang memicu terjadinya perang di kemudian hari.
Para nelayan menyimpan rasa marah ketika kembali ke Rote. Melalui musyawarah antar warga dan kepala suku di Rote, mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mengadakan serangan. Merebut wilayah musuh melalui perang adalah jalan yang mereka pilih. Orang Rote datang dalam jumlah yang banyak dengan membawa alat perang yang lengkap dan diiringi rasa kepercayaan diri yang tinggi. Peperangan hebat pun terjadi. Singkat cerita, orang Rote menang lalu mengusir pergi orang Timor dari wilayah ini. Orang Timor melarikan diri ke atas gunung dan bersembunyi di tengah hutan belantara yang jauh. Mereka menetap di sana dan tidak pernah turun ke pesisir pantai lagi. Sementara itu, semua dataran rendah dan daerah pantai di sepanjang pulau hingga ujung tanjung dikuasai oleh orang Rote. Akhirnya tempat ini dinamai Desa Pitai yang berarti “api-api kecil”, karena dari cahaya api kecil itulah wilayah ini ditemukan.
Demikian kisah singkat asal mula Desa Pitai. Desa yang sedang dan terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Desa yang memiliki banyak potensi alam yang perlu digali dan dikembangkan. Desa yang menyimpan berjuta sejarah indah, yang kelak mengajarimu arti “pulang ke rumah”.
Oleh: Rutsri Marlinda Pian
#rutsripian
#rutsrypian